Blangkon adalah kerudung atau ikat kepala untuk pria. Umumnya blangkon terbuat dari kain tenun polos atau bermotif (batik) yang dilipat, dililitkan, lalu dijahit hingga membentuk jilbab siap pakai.
Penggunaan blangkon ini dimaksudkan sebagai bagian dari tradisi busana adat Jawa, sebagai pelindung kepala dari terik matahari, sebagai bentuk kecantikan bagi pemakainya dan untuk menunjukkan harkat atau kedudukan sosial pemiliknya.
Anugrah Cisara dalam jurnal berjudul “Blangkon dan Lelaki Jawa” menyebutkan bahwa orang Jawa kuno menganggap kepala laki-laki memiliki arti penting. Jadi pelindung kepala pria sangat diutamakan sehingga memakai blangkon dalam pakaian sehari-hari bisa dikatakan wajib.
Dahulu blangkon adalah topi yang sudah jadi, seperti yang sering dijumpai sekarang, disebut iket, yaitu kain bermotif. Dalam setiap penggunaan, kemasan harus dibungkus dan dibentuk sedemikian rupa. Seiring berjalannya waktu, kain bermotif ini berubah menjadi penutup kepala siap pakai yang mirip dengan topi yang disebut blangkon.
Penggunaan kata blangkon diambil dari kata blangko yang merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Jawa untuk mengatakan sesuatu yang sudah siap pakai.
Sejarah Munculnya Blangkon
Tidak ada catatan awal masyarakat Jawa menggunakan iket atau blangkon sebagai penutup kepala. Iket disebutkan dalam cerita legenda Aji Saka, pencipta tahun Saka atau tahun Jawa dan aksara Jawa.
Dikisahkan sekitar 20 abad yang lalu, Aji Saka berhasil mengalahkan Dewa Cengkar hanya dengan membentangkan kain di atas kepalanya yang kemudian menutupi seluruh tanah Jawa.
Selain itu, beberapa laporan mengatakan bahwa blangkon merupakan pengaruh budaya Islam, yaitu sorban. Pedagang dari Gujarat selalu memakai sorban, kain panjang yang dililitkan di kepala.
Sorban tersebut kemudian menginspirasi orang Jawa untuk memakai ikat kepala seperti mereka. Pada jaman dahulu, blangkon hanya bisa dibuat oleh pengrajin dan pengrajin keraton sesuai dengan aturan (standar) yang berlaku.
Blangkon juga digunakan untuk menunjukkan status pemakainya. Status seseorang bisa dilihat dari banyaknya lilitan, bentuk, dan motif kain pada blangkon yang dikenakan. Unsur keindahan dan filosofi sangat penting dalam pembuatan blangkon.
Dalam budaya Jawa, rambut merupakan bagian terpenting dari tubuh manusia yang dikenal dengan istilah mustoko atau mahkota. Sehingga penutup kepala yang melindungi rambut perlu perawatan khusus. Keistimewaan tersebut membuat masyarakat Jawa berpikir bahwa mengenakan pakaian adat Jawa akan terlihat lebih pantas dan berwibawa jika kepala ditutup dengan penutup kepala yaitu blangkon.
Dengan memakai Blangkon, pria saat itu merasa lebih berwibawa. Kebanyakan orang Jawa memanjangkan rambutnya tetapi tidak pernah membiarkannya rontok. Mereka membiarkan rambut mereka tergerai hanya ketika mereka berada di rumah atau dalam situasi konflik seperti perang.
Saat berada di luar rumah, pria Jawa Kuno memiliki kebiasaan mengeriting rambut dengan ikat kain yang ujung ikat kainnya diikat ke belakang. Kebiasaan ini memiliki makna filosofis berupa pengingat untuk bisa mengendalikan diri.
Melepaskan kain di bagian belakang kepala (atau melepas penutup kepala) yang mengakibatkan rambut rontok adalah bentuk puncak dari luapan emosi yang tidak terkendali. Jadi, blangkon bisa disebut sebagai bentuk pengendalian diri.
Detail bentuk blangkon dan artinya
Keindahan blangkon terlihat dari bahan dasar kain batik berukuran 105 x 105 cm. Selain itu, blangkon yang baik memiliki 17 lipatan (lipatan) yang rapi di kedua sisinya sebagai simbol jumlah rakaat shalat dalam sehari. Di bagian belakang blangkon harus ada 2 ujung kain yang diikat.
Salah satu ujung kain adalah simbol iman tauhid dan ujung lainnya adalah iman Rasul dan mereka diikat menjadi satu untuk membentuk sebuah iman. Mondolan dipasang di belakang kepala dengan tujuan mencegah orang tidur dan memejamkan mata. Letak mondolan ini juga dikerjakan di tengah dan lurus ke atas yang artinya lurus ke arah sang pencipta.
Tidak hanya itu, sisa kain di pinggir mandolan jika dihitung ada 6 yang berarti 6 rukun iman dalam Islam. Tanpa kesabaran dan ketelitian yang tinggi dari sang seniman, mustahil blangkon bisa diselesaikan. Secara umum blangkon dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu blangkon jogja dan blangkon solo.
Di blangkon jogja, ada siomay berbentuk bulat seperti siomay di belakang blangkon. Hal ini disebabkan kebiasaan masyarakat Jogja memanjangkan rambut kemudian diikat seperti Patih Gajah Mada. Saat menggunakan ikatan kain, rambut dibungkus dan diikat.
Gulungan rambut ini kemudian berkembang menjadi blangkon mondolan yang memiliki makna kehati-hatian dan perasaan tersembunyi. Tujuannya untuk melindungi perasaan orang lain. Sedangkan pria Surakarta yang lebih dekat dengan Belanda sudah tahu cara bercukur.
Jadi pada blangkon gaya Surakarta tidak ada mondolan di belakangnya (trepes). Seiring berjalannya waktu, blangkon menjadi citra diri melalui tampilan depan yang rapi, sopan dan artistik. Blangkon juga dapat menjadi identitas dan status sosial dalam masyarakat.
Walaupun perubahan zaman telah merubah kebiasaan dan pemikiran masyarakat sehingga berpengaruh terhadap keberadaan blangkon yang semakin langka.