liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Mengenal Suku Samin dan Ajaran Sikep yang Meresahkan Penjajah

Suku Samin merupakan kelompok masyarakat yang mendiami pedalaman Blora. Suku Samin dikenal sebagai petani padi di sekitar Pegunungan Kendeng. Kini, sebagian besar masyarakat Samin masih tinggal di pedalaman Blora, Jawa Tengah. Di tengah kemajuan zaman, masyarakat Jawa tetap teguh mempertahankan tradisinya.

Dilansir dari buku Samin: Bahasa Kekeluargaan dan Perlawanan (2017) karya Hari Bakti Mardikantoro, kata Samin berasal dari nama seorang tokoh masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Samin berasal dari nama seorang warga desa Ki Samin Surosentiko yang lahir di Desa Poso, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Ki Samin Surosentiko merupakan keturunan dari Adipati Brotodiningrat, bupati yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto atau yang sekarang disebut Tulungagung. Ki Samin Surosentiko lahir sebagai Raden Kohar pada tahun 1859.

Ayahnya adalah Raden Surowijoyo yang terkenal suka membantu orang miskin di Bojonegoro, Jawa Timur. Raden Surowijoyo atau Samin Sepuh membentuk gerakan moral sosial untuk menentang Belanda.

Ajaran moral ini berkembang menjadi ajaran suku Sikep Samin. Mengikuti jejak ayahnya, Raden Kohar mengganti namanya menjadi Samin Surosentiko yang dianggap lebih populer, ia juga mengajarkan ajaran Sikep.

Pada tahun 1890, Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajaran ayahnya di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Masyarakat setempat menerima ajaran ini dengan baik. Banyak yang tertarik dan Samin Surosentiko berhasil mengumpulkan banyak pengikut dalam waktu singkat. Residen Rembang menyatakan bahwa ada 722 orang yang menjadi pengikut ajaran ini pada tahun 1903.

Jumlah ini meningkat pesat dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 1907, pengikut Samin mencapai 5 ribu orang yang tersebar di seluruh Bojonegoro dan Blora bagian selatan. Samin Surosentiko kemudian diangkat menjadi Ratu Adil bergelar Prabu Panembahan Suryangalam oleh para pengikutnya.

Bagi masyarakat setempat, Samin dikenal sebagai sosok bangsawan dan ulama desa sehingga sangat dihormati. Namun, tidak bagi pemerintah Hindia Belanda yang sedang berkuasa saat itu.

Bagi Belanda, Samin dikenal sebagai residivis yang hobi keluar masuk penjara karena tidak mematuhi aturan yang dibuat penjajah. Samin ditangkap oleh Asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Penangkapan tersebut merupakan hasil dari gerakan perlawanan yang dilakukan oleh Samin dan para pengikutnya.

Meski tidak melakukan kekerasan, kelompok ini kerap melakukan aksi-aksi pengacau termasuk menolak membayar pajak dan mengambil kayu dari hutan tanpa izin. Samin Surosentiko akhirnya diasingkan ke Kota Padang, Sumatera Utara bersama delapan pengikutnya. Pendiri suku Samin meninggal pada tahun 1914 di pengasingan.

Saminisme adalah ajaran saudara Samin yang berkembang di suku ini. Salah satu ajaran Samin adalah Sedulur Sikep. Kata Sedulur berarti “saudara” dan Sikep berarti “senjata”. Makna ajaran ini mengutamakan perlawanan tanpa senjata dan kekerasan. Ajaran ini digunakan oleh penduduk asli Samin untuk melawan penjajahan di masa lalu, dengan tidak mau membayar pajak dan mengikuti semua aturan yang dibuat oleh penjajah.

Tentu saja hal ini berhasil mengalihkan perhatian para penyusup saat itu. Namun suku Samin justru lebih suka disebut Wong SIkep. Pasalnya, menurut mereka, istilah ini memiliki arti positif, yaitu orang yang baik dan jujur. Ajaran lain yang masih dilestarikan di kalangan penduduk asli Samin adalah Shoaling Ilat yang berarti gerak lidah.

Ajaran ini mengajak untuk tidak berbicara sembarangan atau menjaga lidah agar tidak mengeluarkan kata-kata bohong yang dapat melukai perasaan orang lain. Jangan sakiti orang lain, jika kamu tidak ingin disakiti. Jangan membohongi orang lain jika tidak ingin dibohongi, jangan merugikan orang lain jika tidak ingin disakiti, dan lainnya.

Pada masa penjajahan Belanda, para pengikut Samin disebut sebagai orang yang tidak jujur. Orang Samin memiliki citra buruk pada abad ke-18. Karena itu, mereka lebih suka menyebut dirinya Sedulur Sikep. Sedulur Sikep atau Wong Sikep berarti orang yang baik dan jujur.

Sikap juga dapat diartikan sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Suku Samin memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Komunitas suku ini hidup tersebar di banyak desa yang tersebar di sekitar Kabupaten Blora dan beberapa kabupaten lainnya. Dalam satu desa biasanya terdapat lima sampai enam keluarga.

Masyarakat Samin juga menganut prinsip ‘Ono niro mergo ningsung, ono ningsung mergo niro’ yang artinya ‘aku ada karena kamu, kamu ada karena aku’. Prinsip ini membuat orang Samin tidak mau menyakiti orang lain. Namun, mereka tidak akan tinggal diam jika hak mereka dicabut.

Sebagian besar penduduk asli Samin bekerja sebagai petani. Mereka menolak berbisnis karena takut menipu orang. Bercocok tanam juga merupakan cara bagi penduduk asli Samin untuk mendekatkan diri dan mensyukuri nikmat Tuhan. Yang menarik, banyak keturunan Wong Sikep yang tidak mengenyam pendidikan formal.

Mereka lebih suka mengajar anak-anak mereka sendiri. Hal ini dilakukan agar keturunan masyarakat Samin asli tetap memegang teguh budaya luhurnya. Suku Samin dikenal dengan perlawanan tanpa kekerasan, membuat mereka tidak memiliki senjata sendiri.

Sedangkan menurut jurnal Mohammad Rosyid Tradisi dan Makna Keris Bagi Orang Suci (2019), keris memiliki arti khusus di kalangan suku Samin. Bagi suku Samin, keris merupakan senjata (alat atau senjata) yang memiliki fungsi penting dalam kehidupan.

Belati hanya digunakan untuk menyerang jika mendesak. Senjata ini juga merupakan warisan yang akan diturunkan dari generasi ke generasi.